Hikmah Haji; Membentuk Akhlakul Karimah

Para karyawan muslim yang bekerja di Gedung Arthaloka, Jl. Jendral Sudirman, mempunyai wadah Majelis Dhuha, dan forum pengajian majelis dhuha ini sudah berlangsung lebih dari tiga tahun. Subhanallah, walaupun Jl. Jenderal Sudirman sangat padat pada saat jam masuk kantor, tapi justru para anggota majelis dhuha ini justru datang lebih pagi, kurang dari pukul 07.00 WIB, dan tepat Pk. 07.00, forum majelis Dhuha dimulai hingga Pk. 08.00 WIB atau sebelum jam masuk kantor masing-masing.

Jamaah yang hadir tidak hanya yang berasal dari Gedung Arthaloka saja, tapi ada pula dari tempat lain, bahkan ada seorang jamaah yang sudah pensiun, dan sengaja datang pagi-pagi hanya untuk mengikuti majelis dhuha yang diadakan rutin setiap hari Jumat pagi, di Masjid Baitussalam.

Sebenarnya tim Dangau Aulia sudah cukup sering diminta untuk memberikan taushiah, namun kali ini alhamdulillah, kami mendapatkan transkrip hasil kajiannya. Semoga bermanfaat.

Ringkasan taushiah pengajian Dhuha ustadz Anshori Abdul Djabbar di Masjid Baitussalam, Kompleks Gedung Arthaloka Jl. Jend. Sudirman Jakarta Selatan, Jum’at, 14 Oktober 2011/16 Dzulqo’dah 1432 H.


Hikmah Haji Membentuk Akhlakul Karimah

Assalamu’alaikum wr. wr.,

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 196 :

"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah."

Alhamdulillah, insya Allah sebagian besar dari kita sudah menunaikan ibadah Haji. Bagi yang belum haji, semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan kemudahan dan kesempatan kepada kita untuk “menikmati” indahnya di tanah suci.

Saat ini jamaah Haji sedang berbondong-bondong menuju ke tanah suci. Sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut : Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah - maka bila kita hendak melaksanakan ibadah Haji, maka yang pertama perlu diketahui adalah Miqat, yaitu batas dimana memulai (berniat) kegiatan ibadah Haji. Ketika di Miqat itu, setiap orang yang ingin melakukan ibadah Haji atau Umrah diwajibkan memenuhi rukun Haji/Umrah untuk ber-Ihram (mengenakan pakaian Ihram).

Ketika kita ber-Haji/Umrah, maka kita menjadi tamu Allah dan Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk ber-Ihram (mengenakan pakaian Ihram). Berpakaian Ihram itu dituntunkan oleh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian kita niat ber-Ihram untuk Haji atau Umrah. Ketika seseorang sudah ber-Ihram (mengenakan pakaian Ihram) maka larangan-larangan baginya dimulai.

Seperti disebutkan dalam Surat Al Baqarah ayat 197 :

"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal."

Dalam ayat tersebut jelas, larangan-larangan tersebut adalah ketika ber-Haji, bukan hanya ketika ber-Ihram saja. Pakaian Ihram bagi laki-laki hanya dua helai kain yang tidak berjahit. Pakaian Ihram untuk wanita adalah pakaian yang menutup auratnya, yaitu seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.

Ketika orang ber-Haji, maka akhlak yang pertama adalah akhlak kepada Allah subhanahu wata’ala. yaitu bahwa semua yang dilakukan (yaitu ber-Haji) adalah karena Allah semata. Memakai pakaian Ihram karena Allah. lalu mentaati larangan-larangan yaitu tidak rafats, tidak fusuq, tidak jidal hanya karna Allah subhanahu wata’ala.

Pertama, bagi laki-laki walaupun hanya mengenakan dua helai kain yang tidak berjahit, iapun ditekankan untuk tidak rafats. Rafats artinya segala sesuatu (perkataan, perbuatan) yang mengundang ke-arah seks (syahwat). Tidak boleh menjadi saksi pernikahan, tidak boleh menikahkan. Jadi sesuatu yang halal-pun karena mengarah seks, maka dilarang ketika orang sedang ber-Ihram. Rafats bukan hanya dalam perbuatan lahir, tetapi hati dan pikiran juga tidak boleh rafats. Wanita juga harus rafats, dengan menutup aurat (seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan).

Akhlakul karimah ditandai dengan kemampuan kita menjaga syahwat, menjaga pandangan mata, pandangan mata tidak boleh pandangan yang menggoda. Senyuman, pakaian atau segala sesuatu tingkah-laku tidak boleh yang sifatnya menggoda syahwat. Akhlak kepada Allah adalah semata-mata hanya karena Allah subhanahu wata’ala.

Rafats adalah akhlak kepada sesama manusia. Fusuq (fasiq) adalah akhlak kepada semua makhluk.

Kedua, dilarang Fusuq artinya melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya (perbuatan sia-sia). Misalnaya kita tidak boleh memotong batang atau daun yang kita tidak akan menggunakannya. Juga tidak boleh membunuh binatang yang tidak membahayakan kita,

Alangkah indahnya kalau di dunia ini kita tidak melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya (sia-sia). Selanjutnya, setingkat diatas sesuatu yang tidak ada gunanya (Fusuq) adalah maksiat. Maksiat adalah melakukan sesuatu yang merugikan, yaitu merugikan diri-sendiri dan merugikan orang lain dan lingkungan.

Ketiga, Jidal, yaitu berdebat, atau berbicara yang tidak ada gunanya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam Hadits : “Jika kalian beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam”.

Alangkah banyaknya kerugian dalam kehidupan manusia ini karena pembicaraan yang tidak baik. Ngobrol, omong-kosong, membual, adalah perbuatan sia-sia. Bahkan bisa menyebabkan pertengkaran (perkelahian). Kalau kita semua berusaha berkata yang baik (dengan cara yang baik), dengan tutur-kata yang baik, maka suasana akan menyenangkan. Demikian pula ketika dalam rumah tanagga, semua berbicara dengan baik, insya Allah rumah tangga itu akan menyenangkan. Mungkin maksudnya baik, tetapi karena cara mengutarakannya dihadapan orang dengan cara yang tidak baik, maka itupun menjadikan suasana yang tidak baik.

Juga kita dilarang Ghibah, artinya menceritakan keburukan orang lain, sehingga orang yang diceritakan itu menjadi tidak suka. Walaupun apa yang diceritakan itu memang dilakukannya.
Banyak orang yang seharusnya masuk surga tetapi tidak jadi, dan akhirnya masuk neraka karena ia melakukan Ghibah.

Dalam Hadits diceritakan bahwa ada seorang wanita datang kepada Fatimah rodhiyallahu ‘anha, setelah wanita itu pergi, Fatimah rodhiyallahu ‘anha bercerita kepada ayahandanya (Rasulullah saw): “Wahai ayahku, wanita yang baru saja adalah calon penghuni surga”.
Rasulullah saw bertanya : “Mengapa begitu, ya anakku?”.

Fatimah rodhiyallahu ‘anha berkata : “Wanita itu ahli ibadah. Ibadah sholatnya luar biasa, ibadah-ibadah sunnahnya juga luar-biasa, puasa sunnahnya juga luar biasa”.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan : “Sayangnya, anakku, ia bukan penghuni surga melainkan penghuni neraka”.

Fatimah rodhiyallahu ‘anha terperanjat, bertanya : “Mengapa begitu, wahai ayahanda?”.

Rasulullah shollallahu ‘alahi wasallam bersabda : “Karena wanita itu tidak mampu menjaga lisannya”.

Maksudnya, wanita tersebut suka menceritakan keburukan orang lain. Walaupun mungkin maksudnya “curhat”.

Orang yang suka Ghibah jika ia punya pahala, maka pahalanya diberikan kepada orang yang diceritakan. Kalau amal-baiknya sudah habis, maka dosa orang yang diceritakan diambil dan diberikan kepadanya (yang suka Ghibah). Alangkah ruginya orang itu.

Fitnah adalah menceritakan perbuatan orang lain, tetapi orang lain itu tidak melakukannya. Belum tentu seseorang melakukan sesuatu lalu kita ceritakan, maka itu disebut Fitnah. Dalam AlQur’an berkali-kali disebutkan :
Al fitnatu asaddu minal qathl (Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan). Fitnah itu lebih berat daripada pembunuhan.

Oleh karena itu ketika orang sedang melakukan ibadah Haji/Umroh akhlaknya kepada Allah subhanahu wata’ala, yang membuat akhlak itu menjadikan alam dan sekitarnya bagus, maka disunnahkan untuk ber-Talbiyah :

Labbaik allahumma labbaik - Labbaik lasyarika laka labbaik - Innalhamda - wani’mata laka wal mulk – La syarikalak. (Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu, Tiada sekutu bagi-Mu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, Sesungguhnya segala puji hanya milik-Mu ya Allah, segala kenikmatan dari-Mu dan bagi-Mu ya Allah, Tiada sekutu bagi-Mu).

Demikian berulang-ulang.

Makna dari Talbiyah adalah : Bahwa kita dari Allah dan kita pasti akan kembali kepada Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un (Sesungguhnya semua ini dari Allah dan kepada Allah-lah kita akan kembali).

Kalau semua orang sadar bahwa pasti akan kembali kepada Allah subhanahu wata’ala, kira-kira tidak berani orang melakukan korupsi, atau berbuat dosa lainnya. Padahal kita pasti akan kembali kerpada Allah subhanahu wata’ala, dan ketika kita kembali kepada Allah pakaian kita adalah kain kafan (Hanya kain kafan). Semua harta dan keluarga ditinggalkan. Oleh karena itu ketika kita melaksanakan ibadah Haji dan memakai kain Ihram artinya kita memposisikan diri kita hanya sebagai hamba Allah. Apakah ia seorang kaya-raya, seorang pejabat, seorang presiden, semua akan kembali kepada Allah dengan selembar kain kafan.

Ketika seseorang memposisikan dirinya sebagai hamba Allah, maka yang terpikir : Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, bukan hak-hak yang harus diterima. Ketika seseorang melaksanakan kewajiban-kewajiban, insya Allah hak-nya akan didapatkan.

Ketika kita merasakan bahwa segala kenikmatan ini adalah karunia Allah subhanahu wata’ala dan karenanya maka kita memuji Allah, dan ketika orang memuji kita sebetulnya itu adalah pujian kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka tidak mungkin kita berani menyekutukan Allah subhanahu wata’ala. Dan menyekutukan Allah adalah dosa yang tidak terampuni.

Lihat Surat An Nisaa’ ayat 48 :

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."

Akhlak penghambaan diri terhadap Allah subhanahu wata’ala adalah sebuah modal terbesar.

Dalam sebuah Hadits yang panjang (Hadits Bithoqoh) diceritakan bahwa di Akhirat ketika ditimbang (mizan), ada seorang yang merasa banyak sekali dosanya. Ketika ditimbang ternyata yang lebih berat (banyak) adalah dosa-dosanya. Ketika ditimbang lagi, ternyata dosanya memang banyak sekali. Amalnya hanya sedikit sekali. Ia sudah ketakutan sekali karena timbangan dosanya berat (besar) sekali dibanding amalnya. Tetapi terakhir masih ada selembar catatan (kartu, bithoqoh) tipis yang memuat catatan tentang amalnya. Dan ketika lembaran tipis catatan amalnya itu diletakkan dalam timbangan, ternyata timbangan amalnya menjadi berat sekali, semua dosa-dosanya diampuni oleh Allah subhanahu wata’ala.

Ternyata lembaran tipis catatan itu memuat Aqidahnya yang kuat, Kepasrahannya hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. (Hal ini akan kita bahas tersendiri pada kesempatan akan datang).

Persiapan Haji.
Sebaiknya bahasan tentang program Haji menjadi sebuah program sendiri. Bagi yang sudah pernah ber-Haji bisa untuk menjadi bahan untuk memelihara ke-Mabruran hajinya. Karena Haji yang Mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga. Jadi memelihara ke-Mabrur-an Haji adalah sesuatu yang luar-biasa.

Bagi yang belum melaksanakan ibadah Haji perlu persiapan bathin-nya untuk mendapatkan ampunan Allah subhanahu wata’ala.

Tanda-tanda Syirik.

Tanda-tanda syirik ada tiga :
- Bergantung kepada sesuatu disamakan dengan bergantung kepada Allah subhanahu wata’ala.
- Takut kepada sesuatu sama dengan takutnya kepada Allah subhanahu wata’ala.
- Cintanya kepada sesuatu sama dengan cintanya kepada Allah subhanahu wata’ala.

Na’udzubillahi min dzalik. Kita berlindung kepada Allah dari itu semua.

Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.

SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA, ASYAHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Komentar

Postingan Populer